OPINI
Optimalisasi Pemanfaatan Getah Pinus sebagai Komoditas Ekspor untuk meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan di Kabupaten Sigi
Penulis : Rahmat Saleh
Wakil Ketua I DPRD Kab. Sigi
Mahasiswa Paska Sarjana, Pada Prodi MPWP
(Magister Pembangunan Wilayah Pedesaan)
Universitas Tadulako
74,91% dari 519.602 Ha wilayah kabupaten Sigi merupakan kawasan hutan Negara, yang terdiri dibagi kedalam fungsi Lindung 132.148,86 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 129.521,91 Ha Hutan Produksi Tetap (HP) 2.808,63 Ha Hutan Produksi Konversi 9.272,09 Ha dan Kawasan Suaka Alam 115.458,56 Ha.
Di dalam dan sekitar kawasan itu, terdapat tidak kurang dari 140 desa atau sekitar 80% dari total 177 Desa yang terdapat di kabupaten Sigi.
Menunjukan betapa lekatnya, kehidupan masyarakat masyarakat Sigi dengan Sumberdaya Hutan (SDH), baik secara geografis , social budaya maupun ekonomi.
Dalam keadaan demikian itu, seharusnya SDH menjadi salah satu potensi pendapatan masyarakat maupun daerah. masalahnya berdasarkan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kehutanan merupakan salah satu sector yang pengurusannya diluar kewenangan pemerintah daerah kabupaten.
Urusan kehutanan didistribusikan pada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, yang didasarkan pada jenis dan fungsi kawasan hutan.
Pengaturan ini menyebabkan pembatasan akses pemerintah kabupaten terlebih masyarakat untuk mengelola SDH.
Mengelola dalam pengertian ; merencanakan, memanfaatkan, melakukan pengawasan dan perlindungan serta rehabilitasi.
Situasi ini dari waktu ke waktu tentunya telah mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan dan telah turut berkontribusi atas kemiskinan di area tersebut.
CIFOR (2016), memperkirakan 10,2 juta atau 10% penduduk miskin di Indoensia adalah penduduk yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan Hutan.
Mereka tersebar di 25.863 Desa Hutan, atau desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data identifikasi Desa di dalam dan sekitar Kawasan hutan, BPS dan Badan Planologi Kementrian Kehutanan (2009).
Sulawesi tengah memiliki 810 di dalam dan sekitar kawasan hutan. Terbanyak kedua di seluruh Indonesia.
Sejak tahun 2007, melalui PP 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan rencana pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan, Pemerintah sesunguhnya telah memberi jalan bagi perluasan akses masyarakat dalam pengelolaan SDH, melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakat (HKm) dan Hutan Tanaman rakyat (HTR).
Kebijakan ini menggunakan pendekatan Devolusi, yaitu transfer kewenangan atau sebagaian kewenangan dari pemerintah kepada rakyat, bukan Desentralisasi.
Kebijakan ini kemudian diturunkan kedalam berbagai peraturan teknis, diantaranya peraturan Menteri LHK No P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, serta Hutan Adat, dan terakhir kali diatur melalui Peraturan Menteri LHK No. 17 Tahun 2020.
Melalui kebijakan ini pemerintah telah menerbitkan setidak 3 (tiga) SK hutan desa seluas 6.996 di empat desa di kabupaten Sigi, yaitu ; Desa Namo 4100 Ha, Desa Lonca 685 Ha, Desa Tangkulowi 3001 ha dan Desa Boladangko 2900 Ha, ketiga desa ini terletak di kecamatan Kulawi.
Melalui keputusan ini pemerintah memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk melakukan pengelolaan SDH secara berkelanjutan dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya berdasarkan berdasarkan zonasi melalui rencana pemanfaatan jangka pendek, menengah dan panjang.
Ruanglingkup pemanfaatan meliputi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan pemanfaatan jasa lingkungan, baik untuk kegiatan wisata maupun energy.
Salah satu potensi HHBK yang telah dimanfaatkan masyaraat adalah Getah pohon Pinus (Pinus merkusii Jungh. & Vriese ex Vriese).
Pemanfaatan getah Pinus dilakukan oleh petani penyadap terutama di wilayah desa Lonca, Tangkulowi dan sebagian Boladangko.
Menurut KPH Kulawi luas hutan pinus di areal kulawi adalah 891,37 Ha dengan Populasi sebesar 32.736 pohon.
Jumlah produksi getah pinus dari area tersebut per desember 2021 tercatat sebesar 95 Ton.
Apabila merujuk harga jual ditingkat petani (Rp 12.000 per Kg) maka nilai transaksi getah pinus ditingkat desa dapat mencapai Rp 1,14 Milyard.
Getah Pinus merupakan salah komoditas eksport asal tumbuhan asal Sulawesi tengah.
Untuk kelompok ekspor ini, terdiri dari 6 jenis komoditas yaitu ; Kakao, Tepung Kelapa, rotan, cengkeh, Kayu dan Getah Pinus.
Dari ke 6 (enam) jenis Komoditas eksport asal Sulawesi tengah itu, Getah Pinus merupakan satu dari tiga komoditas yang memiliki daya saing tinggi.
Analisis daya saing komoditas ekspor biasanya dihitung menggunakan analisis RCA (Revealed Comparative Advantage).
Apabila nilai RCA lebih besar dari 1 (satu), maka komoditas tersebut dinyatakan sebagai komoditas berdaya saing tinggi di pasar internasional.
Berdasarkan hal tersebut, Provinsi Sulawesi Tengah memiliki komoditas ekspor asal tumbuhan yang berdaya saing tinggi, yaitu kakao dan hasil hutan, yang berupa getah pinus dan kayu hitam.
(Balai Karantina Petanian Kelas II Palu, 2020). Nilai ekspor ketiga komoditas ini juga cukup tinggi.
BPS Provinsi Sulawesi Tengah mencatat ekspor kakao pada tahun 2019 mencapai US$16,92 juta, sedangkan getah dan kayu senilai US$4,38 juta dan US$9,17 juta.
Dengan memperhatikan potensi ini, pengelolaan getah pinus sudah sepatutnya untuk dioptimalkan.
Optimalisasi itu seyogyanya tidak hanya bermuara pada peningkatan kapasitas eksport, melainkan juga peningkatan kesejahteraan petani, terutama petani penyadap getah pinus.
Saat ini kapasitas pengelolaan getah pinus, masih jauh di bawah potensi tegakan hutan Pinus. tegakan Pinus yang sudah disaap belum mencapai 30% dari populasi pohon pinus, artinya masih lebih banyak Pohon yang belum disadap dibanding dengan yang sudah disadap. Kendala pengelolaan terletak pada kemampuan teknis, peralatan dan penyediaan bahan-bahan stimulant getah berupa asam sulfat.
Menyadap getah Pinus merupakan “tradisi” baru bagi masyarakat di Kulawi.
Kebanyakan petani belajar secara otodidak, sehingga belum memiliki metode sadap yang paripurna.
Hal ini menyebabkan ekstraksi getah tidak maksimal.
Selain itu fitur sadapan juga masih banyak yang belum standard, banyak yang terlalu dalam dan mengelupas kulit pohon secara keseluruhan, menyebabkan Pohon menjadi stress dan tidak jarang menjadi mati.
Penggunaan asam sulfat getah sebagai stimulant juga tidak ekonomis dan membahayakan lingkungan .
Sehingga perlu disubsitusi dengan jenis stimulant alami yang lebih bekerlanjutan.
Disamping itu, tata Niaga getah pinus juga perlu diperbaiki.
Untuk memastikan harga jual yang lebih pasti dan lebih baik bagi petani.
Saat ini rantai pasar getah Pinus masih relative panjang, dari petani sampai eksportir masih komoditas ini masih harus melalui dua atau tiga perantara.
Padahal rentang geografi antara petani dengan eksportir relaif dekat, dan aksesable.
Disini penata lembagaan pemasaran getah Pinus nampaknya perlu di kedepankan.
Dimana BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) dapat dikedepankan perannya untuk mewakili kepentingan pemasaran petani.
BUMDES, dapat berfungsi untuk mensortasi produk, mengumpulkan, menampung, dan memasarkan Getah Pinus langsung ke Eksportir.
Kerjasama ini sebaiknya diikat dalam suatu perjanjian dagang antara BUMDES dengan PT. Hongthai International, satu-satunya pemegang lisensi ekpor Getah Pinus di Sulawesi tengah dengan tujuan China. dengan demikian, para petani dapat menikmati harga langsung dari ekportir.
Model ini tentunya hanya bisa terwujud bilamana, disatu sisi BUMDES kita telah siap untuk ekspansi dan disisi lain, PT Hongthai selau ekportir punya itikad baik untuk berbisnis langsung dengan petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani getah pinus.